Napak Tilas Kehidupan Syeikh Yasin Al Padangi
Ulama Mekkah yang nenek moyangnya berasal dari Padang Sumatra Barat, adalah sosok ulama Indonesia yang namanya Terukir dengan Tinta Emas karena keluasan ilmu yang dimilikinya. Bernama lengkap Abu Al-Faydl ‘Alamuddin Muhammad Yasin ibn Muhammad ‘Isa Al-Padangi. Ulama’ keturunan padang yang menjadi Mufti (pemberi fatwa) madzhab Syafi’i di Mekkah dan penulis beberapa literature khazanah keislaman. Lahir pada tahun 1335 H/ 1916 M. di Padang Sumatera Barat dan wafat pada hari kamis malam Jum’at tanggal 28 Dzulhijjah 1410 H/ 21 Juli 1900 M.
Beliau menimba
ilmu, mula-mula dari ayahnya sendiri Syaikh ‘Isa al-Fadani, lalu kepada bapak
saudaranya, Syaikh Mahmud al-Fadani. Setelah
itu, beliau melanjutkan pendidikan formalnya di madrasah Shaulatiyyah (1346 H)
dan akhirnya di Dar al Um al Diniyyah, Makkah (selesai tahun 1353 H), selain
pendidikan formal, Syeikh Yasin juga banyak berguru kepada ulama’-ulama’ besar
Timur Tengah Syeikh yasin merupakan murid yang sangat rajin dan tekun dalam
menuntut ilmu dan belajar pada ulama’, maka tidaklah heran jika beliau
mempunyai banyak guru, diantara guru-gurunya adalah : Syeikh Muhammad Ali bin Husain bin Ibrahim al-Maliky
al-Makky, Syeikh Abi Ali Hasan bin Muhammad Massath al-Makky, Syeikh Umar bin Hasan Al-Mahrasi al-Maliky, SyeikhUmar
Bajunaid (Mufti as-Syafi’iyah), Syeikh Said bin Muhammad al-Yaman, Syeikh Hasan
Yamani, Syeikh Muhsin bin Ali al-Musawi al-Falembani al-Makky, Syeikh Abdullah Muhammad
Ghozi al-Makky,  Syeikh Ibrahim bin Dawud
al-Fathoni al-Makky, Sayyid Alawy bin Abbas al-Maliky al-Makky,  Sayyid Muhammad Amin Kutbi al-Makky,Syeikh
Ahmad al-Mukhollalati al-Sami al-Makky, Syeikh Kholifah al-Hanadi al-Nabhani
al-Bahraini al-Makky, Syeikh Ubaidillah bin al-Islam al-Sindi al-Duyubandi, Syeikh
Husain Ahmad al-Faidz Abbadi, Syeikh Abdul Qodir bin Taufiq al-Halabi,Syeikh
Muhammad Abdul baqi al-Laknawy al-Ansori.  Syeikh Abdul hadi al-Midrasi. Mereka adalah sebagian guru-guru Syeikh yasin, dan masih
banyak lagi guru-guru beliau, bahkan dalam ilmu riwayat sanad hadits beliau
banyak menemui ulama’ ulama dari berbagai macam Negara sampai 700 guru. 
Selama bertahun-tahun Syeikh yasin aktif mengajar dan memberi kuliah di Masjidil Haram dan Dar al ‘Ulum al-Diniyyah, di Makkah. Terutama pada mata kuliah hadits dan falak. Keberadaan Syeikh Yasin memang tidak terlalu tersorot oleh publik. Karena beliau telah menjadi lambang ulama’ yang “bukan wahabi” yang tersisa di Makkah. Namun, beliau juga diakui oleh ulama’ wahabi sebagai ulama’ yang bersih dan tidak pernah menyerang kaum wahabi.
Syeikh Yasin dkenal sebagai ulama’ yang produktif dalam menulis, karya beliau mencapai ratusan, sehingga Al-Allamah Sayyid Saqqaf bin Muhammad As-Saqqaf seorang ulama’ Hadhramaut memuji Syeikh Yasin dengan sebutan “Suyuthi Zamanih”. Lantaran karyanya yang begitu banyak.
Sejumlah murid dan peneliti kini mulai berusaha menginventarisir dan menerbitkan karya-karya tersebut. Kabarnya hingga saat ini baru sebanyak 97 kitab diantaranya; Sembilan tentang Ilmu Hadits, 25 kitab tentang Ilmu Fikih dan Ushul Fikih, 36 kitab tentang Ilmu Falak. Dan sisanya cabang ilmu-ilmu lain.
Diantara karya-karya tersebut yaitu : Al-Durr al-Mandlud Syarh Sunan Abi Dawud, 20 Juz, Fath al-'Allam Syarh Bulugh al-Maram 4 jilid, Nayl al-Ma'mul 'ala Lubb al-Ushul wa Ghayah al-wushul, Al-Fawaid al-Janiyyah Ala Qawa'idil Al-Fiqhiyah, Jam'u al-Jawani, Bulghah al-Musytaq fi 'Ilm al-Isytiqaq, Idha-ah an-Nur al-Lami' Syarh al-Kaukab as-Sathi', Janiyy ats-Tsamar Syarh Manzhumah Manazil al-Qamar, Mukhtashar al-Muhadzdzab fi Istikhraj al-Awqat wa al-Qabilah bi ar-Rubi'i al-Mujib, Al-Mawahib al-Jazilah syarh Tsamrah al-Washilah fi al-Falaki, Taqrir al-Maslak liman arada `ilmi Falak, Kaukab al-Anwar fi asma-i an-Nujum as-Samawiyah, Thabaqat `Ulama al-Falak wa al-Miqat, Al-Mawahib al-Jazilah Syarh Stamrah al-Wasilah fi al-Falak. Dan lain sebagainya
Pemikiran Syeikh Yasin Al Padangi dalam Keilmuan Falak
Dalam silsilah keilmuan falak, Syeikh Yasin Al-Padangi hidup semasa dengan para ulama’ ahli falak lain Indonesia, seperti Syeikh Thahir Jalaluddin, KH. Ma’sum Ali, KH. Zubeir Umar Al Jailani, KH. Turaihan Ajhuri, KH. Mahfudz Anwar. Meskipun beliau lebih populer sebagai ahli dalam keilmuan hadits, dan fikih daripada keilmuan falak. Namun kitab-kitab beliau perlu mendapat apresiasi, karena memberikan kontribusi yang luar biasa dalam khazanah keilmuan Islam, khususnya dalam keilmuan falak.
Dalam kitabnya Al-Mukhtasor Al-Muhadzab, beliau menerangkan tentang tiga sistem penanggalan dan perhitungan waktu-waktu shalat serta perhitungan arah kiblat dengan Rubu’ Mujayyab. Dalam pembahasan awal kitab ini berbicara seputar persoalan-persoalan kaidah-kaidah falakiyah dengan menjelaskan dan memberikan gambaran secara detail seperti Dairot Al -Ufuk, Dairot An-Nisfinahar, Dairot Al-Irtifa’ Dairot Al-Falak Al-Buruj. Lebih lanjut Beliau juga menjelaskan komponen alat Rubu’ Mujayyab secara lengkap dan mendetail.
Dalam masalah penanggalan, pemikiran Syeikh yasin Al-Padangi tidak jauh berbeda dengan system penanggalan yang ada selama ini. Beliau membagi pola system penanggalan menjadi tiga bagian, yaitu kalender Qamariyah (lunar system), kalender Hijriyah Syamsiyah ( lunisolar system), dan kalender Miladiyah (solar system), dengan mengemukakan tentang sejarah permulaan dan perkembangan dari system penanggalan.
Sistem hisab awal bulan yang dijelaskan dalam kitabnya tergolong dalam system hisab istilahi, dimana hari dalam setiap bulan berjumlah 30 dan 29 hari secara bergantian. Namun, didalamnya juga disebutkan bahwa ada system hisab yang menggunakan rukyatul hilal secara Syar’i sehingga jumlah hari tidak pasti bergantian, terkadang ada yang jumlahnya 30 hari berturut-turut, ada pula yang 29 hari berturut-turut.
Begitu pula dalam penanggalan Syamsiyah, Syeikh Yasin menguraikan tentang sejarah pembentukan, dan penggunaan penanggalan Syamsiyah. Beliau juga menjelaskan tentang kitab-kitab karangan ulama’ yang menerangkan tentang penggunaan penanggalan tersebut beserta koreksi dan perubahan-perubahan yang terjadi. Seperti halnya kitab Islahut Taqwim, Tarikh Al-Adwar, Ad-Darotun Nadhiroh, dan lain sebagainya.
Kitabnya juga menjelaskan sejarah dari pembentukan kalender Syamsiyah secara rinci. Di dalamnya juga menampilkan perbedaan pendapat para ilmuan dalam menyebut nama-nama bulan dalam kalender Syamsiyah. Di antara pendapat-pendapat tersebut, Syeikh Yasin lebih memilih pendapat ilmuan Hijaz yang mengambil nama-nama setiap bulan mengikuti nama-nama buruj yang berjumlah 12. Berawal dari buruj Mizan, dan berakhir pada buruj Sunbulah. Setiap enam bulan pertama dimulai dengan Mizan dan diakhiri dengan Huut yang berjumlah 30 hari, kecuali buruj Jadyu 29 hari pada tahun basithoh, dan enam bulan sisanya berawal dari buruj Haml, dan berakhir pada buruj Sunbulah yang berjumlah 31 hari.
Disebutkan pula bahwa kalender ini di hitung mulai saat kelahiran Isa Al-Masih As yang kemudian diperingati sebagai hari Natal. Asal mula kalender ini dipakai oleh orang-orang Rowawi dimana pada bagian akhir terdapat istilah yang membingungkan dan kacau. Sehingga terjadi perubahan pada kalender ini yang kemudian disebut seagai koreksi Gregorius. Dan hingga saat ini kalender ini masih digunakan sebagai kalender internasional.
Dalam hal penentuan awal waktu shalat, Syeikh Yasin Al-Padangi membagi waktu menjadi dua, yaitu waktu Al-Gurubiyah dan waktu Zawaliyah. Yang dimaksud waktu Al-Gurubiyah adalah dimulai saat terbenamnya matahari. Sedangkan waktu yang kedua, waktu Zawaliyah dimulai sejak matahari sampai pada ketika posisi mataghari ada di meridian atas. Dan ketentuan tersebut berlaku untuk Negara Indonesia dan Asia Tenggara. Kemudian Syeikh Yasin menjelaskan perhitungan awal waktu shalat dengan mempertimbangkan ketinggian matahari dan juga menjelaskan dengan penjelasan operasional Rubu’ Mujayyab untuk waktu sholat lima waktu.
Untuk penentuan perhitungan waktu shalat Syeikh Yasin mempertimbangkan, dimana untuk waktu shalat Isya’, beliau menggunakan Irtifaus Syamsi dengan -170, dan -190. Dengan kata lain, waktu Isya’ awal adalah ketika hilangnya mega merah dan waktu Isya’ kedua adalah hilangnya mega putih. Kemudian untuk waktu fajar, beliau menggunakan ketinggian matahari -190. Ia pun membagi waktu dluha menjadi dua waktu yakni, dluha shugra dan dluha kubra. Waktu dluha sughra adalah waktu dimana disunnahkannya shalat dluha dan shalat hari raya sebagaimana pendapat para imam madzhab. Dimana ketinggian matahari setinggi ujung tombak. Ketinggian tersebut menurut para ahli falak diperkirakan sekitar 40 42’. Sedangkan waktu dluha kubra adalah waktu dimana dimakruhkannya melaksanakan shalat sebulan waktu kulminasi. Menurutnya waktu imsak adalah sekitar 12 menit. Kemudian beliau juga membuat konsep waktu ikhtiyat 2 menit untuk shalat Ashar dan Isya’, 5 menit untuk waktu Dzuhur.
Dalam penentuan awal waktu shalat dengan menggunakan rubu’ mujayyab, Syeikh Yasin Al-Padangi, mengemukakan bahwa untuk mengetahui waktu shalat, dimulai dahulu dengan mengetahui perkiraan derajat syamsi dan bu’du darajah. Darajat Al-Syamsi dipahami sebagai “jarak sepanjang lingkaran Ekliptika yang dihitung dari awal setiap buruj sampai dengan titik pusat matahari”. Dalam perhitungannya perlu mengetahui terlebih dahulu Muqawwam (tanggal dan bulan pada tahun masehi yang akan kita lakukan perhitungan) nya.
Kemudian dalam menjelaskan perhitungan deklinasi matahari dengan menggunakan rubu’ mujayyab adalah dengan menaruh khoit di atas sittiny, kemudian geser muri hingga tepat berada di atas deklinasi terjauh yakni 230 52’. Kemudian khoit pindahkan ke nilai darojatus syamsi dihitung mulai juyubul mabshutoh sampai markaz adalah nilai yang terdapat pada darojatus syamsi adalah nilai deklinasi matahari. System perhitungan yang lain juga selaras dengan kitab-kitab ilmu falak yang ada di Indonesia.
Selanjutnya terkait dengan konsep untuk mengetahui posisi suatu tempat di Bumi, digambarkan dengan sebuah bola bumi dengan beberapa garis dipermukaannya. Garis-garis tersebut terdiri dari dua garis, yakni garis Ardlul Balad (lintang Tempat) dan garis Thul Balad (bujur tempat). Nilai minimumnya 00 dan nilai maksimumnya 900. Bagi tempat-tempat yang berada di sebelah utara garis katulistiwa maka nilai ardlul baladnya positif (+) dan tempat yang berada di sebelah selatan yang nilainya negative (-).
Dengan demikian dapat disimpulkan, ternyata konsep penentuan awal waktu shalat Syeikh Yasin Al-Padangi tidak jauh berbeda dengan kitab-kitab falak yang ada di Indonesia sebut saja kitan Tibyanul Miqaat, Durusul Falakiyah, yang semua menggunakan criteria yang sama dalam menentukan awal waktu shalat. Hanya saja dalam perhitungan deklinasi terjauh berbeda datanya dengan data umumnya deklinasi 230 27’.
Sedangkan dalam hisab arah kiblat, pemikiran Syeikh Yasin Al-Padangi tidak jauh berbeda dengan konsep penentuan arah kiblat trigonometri bola yang diharuskan mengetahui data geografis dari Makkah dan tempat yang akan dihitung arah kiblatnya. Secara operasional perhitungan arah kiblat dalam pemikiran Syeikh Yasin menggunakan operasional perhitunngan Rubu’ Al-Mujayyab. Disamping itu, dalam kitab ini juga menjelaskan bagaimana menentukan arah utara sejati dengan bayang-bayang matahari dengan membuat titik bayangan sebelum dzuhur dan setelah dzuhur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar