Minggu, 07 September 2014

SHALAT SHUBUH DALAM PRESPEKTIF FIQH DAN SAINS

        BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang
Sholat merupakan ibadah mahdla  yang menempati kedudukan yang utama dan merupakan ibadah yang pertama disyari’atkan pada Nabi Muhammad SAW. Shalat mempunyai tempat yang khusus dan fundamental, karena shalat merupakan salah satu rukun yang harus ditegakkan.  Shalat yang diwajibkan bagi setiap muslim terbagi menjadi lima waktu, diantaranya: shalat dhuhur, ashar, maghrib, isya’, dan subuh. Masing-masing shalat fardhu tersebut mempunyai waktu-waktu yang telah ditentukan

Penentuan waktu shalat telah ditetapkan dalam Al-Qur’an, tetapi penentuannya masih bersifat global dan penjelasannya terdapat dalam hadits-hadits nabi. Kemudian para fuqaha’ memberikan batasan-batasan waktu shalat dengan berbagai cara atau metode yang mereka asumsikan dari hadits-hadits nabi.
</ul>

Setiap shalat mempunyai waktu dalam arti ada dimana seseorang harus menyelesaikannya. Apabila waktu tersebut berlalu maka berlalu pula  waktu shalat. Sebagai ibadah yang waktunya ditentukan secara Syar’i oleh Al-Qur’an dan Hadits, maka dalam pelaksanaannya dituntut untuk tepat pada waktunya. Walaupun dalam ruang lingkup fiqh telah dijelaskan, tapi alangkah baiknya diimbangi dengan bantuan sains dalam menentukannya.  Sebagai acuan keyakinan dalam beribadah tanpa meninggalkan keraguan di dalammnya.




B.    Rumusan masalah
1.     Shalat dan dasar penentuan waktu shalat shubuh?
2.     Bagaimana waktu shubuh dalam prespektif Fiqh?
3.     Bagaimana waktu shubuh dalam prespektif sains?
4.     Bagaimana penghitungan waktu shubuh?


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Shalat dan Dasar Penentuan  Waktu Shalat
1.     Pengertian shalat
Dalam Al-Qur’an sering ditemukan kata shalat untuk beberapa arti misalnya
•    Digunakan untuk arti doa.

وصل عليهم إن الصلاة سكن لهم والله سميع عليم ۞ </ul>
(التوبة۱۰۳)
                          
“Dan berdoalah untuk mereka, sesungguhnya doa kamu itu (menumbuhkan) ketentraman bagi jiwa mereka dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.

•    Digunakan untuk arti memohon.

ان الله وملائكته يصلون على النبىۗ يا ايها الذين امنوا صلوا عليه وسلموا تسليما ۞ (الاحزاب:٥٦)

“ Sesungguhnya Allah dan Malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Wahai  orang-orang yang beriman! Berselawatlah untuk Nabi, dan ucapkan salam dengan penuh penghormatan kepadanya.”

Sedangkan pengertian menurut istilah ( ahli fiqh) shalat merupakan ibadah yang  dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam dengan salam dengan syarat tertentu.  Digunakan istilah shalat bagi ibadah ini, adalah tidak jauh berbeda dari arti yang digunakan oleh bahasa diatas, karena di dalamnya mengandung doa-doa, baik yang berupa permohonan maupun yang lainnya.


2.    Dasar Penentuan Waktu Shalat

Shalat fardhu yang diwajibkan bagi umat islam terbagi menjadi lima waktu . masing-masing waktu tersebut telah ditentukan waktunya. Adapun dasar penentuan waktu shalat secara umum mengacu pada hadits berikut:

ان الصلاة كانت على المؤمنين كتابا موقوتا ۞ (النساء ١٠٣)    
                                 
“sesungguhnya shalat itu kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-  orang beriman.” 

Kataموقوتا      terambil dari kata  وقت  atau waktu. Dari segi bahasa kata ini digunakan dalam arti batas kesempatan suatu pekerjaan. Ada juga yang memahami kata ini dalam arti kewajiban yang tidak berubah selalu harus dilaksanakan dan tidak pernah gugur.  Ketetapan waktu diatas lebih diperinci dengan surat Al Isra’ ayat 78      
              
           اقم ااصلاة لدلوك الشمس الى غسق اليل وقران الفجرقلى ان قران الفجر كان مشهودا ۞   (الاسراء :  ٧٨ )     

“Laksanakanlah shalat sejak matahari tergelincir sampai gelapnya malam dan (laksanakan pula shalat) shubuh. Sungguh shalat shubuh itu disaksikan (malaikat).

Adapun dasar penentuan waktu shalat shubuh terdapat dalam Al Quran dan Hadits berikut ini:

    Qur’an surat Thaha ayat :130

.وسبح بحمدك طلوع الشمس وقبل غروبهاۚۚ من اناء اليل فسبح واطرف النهار لعك ترضى۞ (طه : ۱۳۰ )               “

Dan bertasbihlah dengan memuji tuhanmu, sebelum matahari terbit, dan sebelum terbenam dan bertasbihlah pada waktu tengah malam dan diujung siang hari, agar engkau merasa tenang”.

    Hadits yang diriwayatkan oleh imam An Nasai

عن جابربن عبد الله رض قال : صلى لنا رسول الله صلعم الصبح حين تبين له الصبح (رواه النسائ)                     

“Dari Jabir bin Abdullah ra. Berkata: Rasulullah SAW mengerjakan shalat shubuh dikala terang fajar shubuh baginya”

B.    Shalat shubuh dalam prespektif fiqih

Secara syar’i shalat  yang diwajibkan bagi umat muslim mempunyai waktu yang telah ditentukan. Adapun penjelasan-penjelasan waktunya diterangkan kemudian oleh hadits-hadits Nabi.  Artinya bahwa setiap shalat harus dilaksanakan pada waktunya masing-masing dan apabila waktu itu berlalu maka shalatnya gugur atau tidak sah. Untuk itu setiap orang yang akan medirikan shalat harus mengetahui awal dan akhir waktu shalat.

Pada garis besarnya, shalat fardhu dibagi menjadi lima waktu, diantaranya: shalat dhuhur, ashar, maghrib, isya’ dan shubuh.  penentuan waktu shalat shubuh mengacu pada hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim.

ووقت الصلاة الصبح من طلوع الفجر ما لم يطلوع الشمس (رواه مسلم)      
                             
 “Dan waktu shalat shubuh dari terbit fajar sampai dengan sebelum matahari terbit”. 

Para ahli Fiqh sepakat bahwa permulaan waktu shalat shubuh adalah ketika terbit fajar shadiq sedang akhir waktunya adalah terbitnya matahari.  Diketahui bahwa fajar pagi hari ada dua macam, yaitu fajar kadzib dan fajar shadiq. Fajar kadzib adalah fenomena pantulan sinar matahari menjelang pagi hari yang membentuk seberkas sinar terang yang memanjang ke atas. Fajar kadzib muncul beberapa saat sebelum fajar shadiq. Fajar kadzib dalam Bahasa Inggris disebut twilight false atau zodiacal light. Adapun fajar shadiq merupakan fenomena fajar seberkas sinar terang menjelang pagi yang melebar dari ufuk timur dari utara ke selatan. Fajar shadiq muncul pada waktu dini hari sebelum terbitnya matahari.  Fajar inilah yang menunjukkan awal waktu shubuh sebenarnya.
           

Dalam hal penentuan waktu shubuh ahli Fiqih berselisih pendapat mengenai waktu pilihan untuk shalat shubuh.

    Ahli fiqih Kuffah dan Abu Hanifah dan pengikutnya berpendapat bahwa melakukan shalat  shubuh lebih baik ketika sinar matahari sudah nampak.

    Menurut Imam Maliki, Syafi’i dan pengikutnya berpendapat bahwa melakukan shalat shubuh ketika malam lebih baik.
Perselisihan pendapat ini disebabkan perbedaan mereka dalam mengumpulkan dan mengacu dari hadits lahiriyah yang bertentangan. Seperti dalam hadits berikut ini:

Hadits yang dijadikan acuan pendapat pertama, yakni hadits yang diriwayatkan dari Rafi’ bin Khadij.

اسفروا با الصبح وكلما اسفرتم فهو اعظم للاجر (اخرجه الترمذي والنسائ)           
                                      
“ Shalat shubuhlah ketika sinar mulai bercahaya setiap kamu memasuki waktu shubuh, maka semakin besar pahalanya”.

     Hadits yang dijadikan acuan oleh pendapat yang kedua, yakni yang diriwayatkan oleh ImamTirmidzi.

   قال رسول الله صلعم  اصيحوا باالصبح فانه اعظم لاجوركم (رواه الخمسة وصححه الترمذي وابن حبان)

    “Bahwasanya Rosulullah SAW. Bersabda : Pagi-pagilah kamu melakukan shalat shubuh, karena yang demikian itu lebih besar pahalanya”. 

Sebagian para ulama’ berpendapat bahwa yang dimaksud dengan perkataan “kerjakan waktu dikala terang” ialah memanjangkan bacaan didalamnya agar selesainya pelaksanaan shalat shubuh dikala terang.

Karena itu, ahli ilmu menafsirkan hadits Rafi’ bin Khadij dengan dua macam tafsir.

•     Kerjakanlah shubuh dikala terang (asfiru bil fajri) ialah memanjangkan bacaan waktu shubuh supaya selesai shalat shubuh dikala terang.

•     Kerjakanlah shalat shubuh ditafsirkan  dengan memastikan dahulu fajar,  sesudah fajar nyata tiba barulah kamu mengerjakan shalat shubuh.

Dari pendapat dua ahli Fiqh tersebut diatas dapat diambil pengertian bahwa  waktu yang afdhal dalam melakukan shalat shubuh yakni pada permulaan waktu. Berdasar pada hadits yang menyebutkan Rosulullah sering melakukan shalat pada permulaan waktu dan hanya sekali di akhir waktu.( H.R.Abu  Daud) 

C.    Waktu Shalat Shubuh dalam Prespektif Sains

Ketentuan shalat yang termuat dalam Al-Quran dan Hadits berkaitan erat dengan posisi matahari.  Pada asalnya cara menentukan waktu shalat adalah dengan melakukan observasi atau pengamatan posisi matahari. Namun seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan peradapan manusia, tanpa melihat posisi matahari manusia dapat mengetahui kapan datangnya waktu shalat, dengan menggunakan rumus-rumus pergerakan matahari melalui prespektif sains.
Waktu shalat shubuh dimulai sejak terbit fajar shadiq sampai sampai terbitnya matahari (syuruq).

Secara astronomi, fajar ( morning twilight) dibagi menjadi tiga.

    Fajar astronomi yakni cahaya yang mulai meredup karena mulai munculnya hamburan cahaya matahari. Fajar astronomi muncul ketika matahari berada 180  di bawah ufuk.

    Fajar nautikal yani fajar menampakkan ufuk bagi para pelaut. Fajar nautikal muncul pada saat matahari sekitar 120 dibawah ufuk.

    Fajar sipil yakni fajar yang mulai menampakkan benda di sekitar kita. Fajar sipil muncul pada saat matahari berada sekitar 60 di bawah ufuk.

Adapun yang dimaksud fajar shadiq  dalam falak ilmiy dipahami sebagai (astronomi twilight) atau fajar astronomi. Cahaya ini mulai muncul di ufuk timur menjelang terbit matahari, berada sekitar 180 di bawah ufuk atau jarak zenit matahari 1080 .

Dalam konteks peredaran matahari, fajar shadiq terbentuk apabila ketinggian matahari mencapai -200 di sebelah timur. Di Indonesia pada umumnya shalat shubuh dimulai pada saat kedudukan matahari 200 dibawah ufuk hakiki (true horizon). Pendapat ini sejalan dengan ketentuan waktu shalat shubuh menurut Departemen Agama RI. Oleh karena itu, ditetapkan bahwa tinggi matahari pada awal shubuh (hsb) adalah 200 atau hsb = -200.

Hal senada juga ditulis Susiknan Azhari (mengutip pendapat Abdur Rahman) menyebutkan bahwa awal shubuh ditandai nampaknya fajar shadiq dan dianggap masuk waktu shubuh ketika matahari 20 di bawah ufuk. Jadi jarak zenit matahari berjumlah 1100 (90+20)0. Sementara batas akhir waktu shubuh menurutnya saat matahari terbit (syuruq) yakni berada -010 dari ufuk timur.

D.    Cara Perhitungan Awal Waktu Shubuh

Dalam penentuan awal waktu shalat shubuh, terdapat hal-hal yang perlu diperhatikan:

1.    Perhatikan dengan cermat (λx), baik bujur barat maupun bujur timur, lintang (ɸx) dan tinggi tempat dari permukaan air laut.

2.    Dalam penentuan tinggi matahari (ho) saat terbit atau terbenam dengan rumus : ho terbit/tenggelam = - (ref + sd + ku). Ref ( refraksi) tertinggi adalah ketika matahari terbenam yaitu 0034′.  Sd  (semi diameter) matahari rata-rata yaitu 0o16′. Sedangkan untuk menghitung kerendahan ufuk menggunakan rumus : ku = 0ox1,76o√m ( m=tinggi tempat).

3.    Dalam menentukan tinggi matahari untuk awal shalat shubuh digunakan rumus = -19+ ho terbit/terbenam. Atau -19+(- (ref + sd + ku).

4.    Perhatikan deklinasi matahari ( δ ) dan gunakan equation of time (e) pada tanggal yang dikehendaki. Untuk lebih telitinya hendaknya ditentukan deklinasi matahari dan equation of time pada waktu yang semestinya.

5.    Dalam menentukan sudut waktu matahari (to) dengan rumus :

6.    Mengubah waktu Hakiki dan istiwa’ menjadi daerah Waktu Daerah atau WO
WD = WH – e + (λd  - λx) : 15 atau
       WH – e + (BTd – BTx) : 15

7.    Apabilah dalam perhitungan digunakan untuk keperluan ibadah, maka hendaknya dilakukan ikhtiyat dengan cara sebagai berikut :

    Untuk awal waktu shalat, berapapun detiknya dalam hasil yang diperoleh hendaknya dibulatkan menjadi satu menit, kecuali waktu terbit.

    Penambahan dua menit dalam setiap hadil yang diperoleh, kecuali untuk waktu terbit dikurangi dua menit.

Contoh penentuan awal waktu shalat shubuh kota Semarang tanggal 1 Desember 2005.

Diketahui :
    Lintang tempat ()         : -07°LS
    Bujur Tempat (λ)          : 110ᵒ 24’(BT)
    Deklinasi Matahari ()     : -21°51'10"
    Ketinggian (Semarang)     : 200 dari atas laut
    Equation of time         : 0°10'55"
    ho saat terbit            : (ref+sd+ku)
= -(0°34'+0o16′+0ox1,76o√m ( m=200)).
= -1°14'53,41"
Dari uraian diatas dapat dketahui    :
1.    Menentukan ho awal shubuh    =  -19+(ho terbit)
                         = -19 + (-1°14'53,41")
                         = -20°14'53,41"
2.    Menentukan sudut waktu matahari.
Cos to    =  (Sin ho : Cosx  : Cos m - Tanx x Tan m):15
=  (Sin -20°14'53,41": Cos -7° :Cos -21°51'10"-Tan -7°xTan -21°51'10') :15
        =  -155°8'44,82"
     to    =  -07j 40m 34,99d
Ubah waktu Hakiki menjadi waktu daerah dengan rumus : WD = WH - e + (λ d - λˣ : 15)
WD    = WH - e + (λ d   - λˣ : 15)
            = 12 – 0°10’55” + (105° - 110° 24’) : 15
            = 12 - 0°10’55” + (-5° 24’ 0’) : 15
            = 12 - 0°10’55” + (- 0° 21’ 36”)
            = 12 – (0° 32’ 31”)
3.    Menentukan awal waktu shubuh
= pkl. 12 + (to)
        = pkl. 12 + (07j 40m 34,99d)
        = pkl. 04j 19m 25,01d waktu hakiki - 0j 32m 31d
        = pkl. 03 : 46 : 54,01
Waktu shubuh = pkl. 03 : 49 WIB.

BAB III
KESIMPULAN
1.    Dalam prespektif fiqih waktu shalat shubuh dimulai sejak munculnya matahari sampai terbitnya matahari. Para ulama’ sepakat akan hal tersebut, adapun perbedaan yang menjadi perdebatan yakni waktu yang lebih utama shalat shubuh. 
2.    Dalam prepektif sains waktu awal shalat shubuh diketehui -20o dibawah ufuk hakiki (true horizon). oleh karena itu ditetapkan bahwa tinggi matahari pada awal shubuh (hsb) adalah 20 atau hsb = -20o. Sementara batas akhirwaktu shubuh saat matahari terbit (syuruq) yakni -01o dari ufuk.
3.    Penentuan sudut  waktu matahari dapat diketahui menggunakan rumus sebagai berikut
4.    Penentuan awal waktu shubuh dapat ditentukan dengan rumus:
WD = WH - e + (λ d - λˣ : 15)


BAB IV
PENUTUP
Demikian makalah yang kami sajikan, kritik dan saran konstruktif kami harapkan, demi bahan penyempurnaan makalah kami selanjutnya. Dan sangat kami sadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak kesalahan dan kekurangan . Kami mohon maaf yang sebesar-besarnya. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca dan bagi penulis khususnya. 




DAFTAR PUSTAKA

Ash Shiddieqy, Muhammad Hasybi, Koleksi Hadits-Hadits Hukum 2, Jakarta: Pustaka Rizki Putra, 2000,

Azhari, Susiknan, Ensiklopedi Hisab Rukyat, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005,

                           ,Ilmu Falak, Yogyakarta, Suara Muhammadiyah, 2007,
Departemen Agama RI,  Al Quran dan Terjemahnya, Bandung : Diponegoro,

Izzuddin, Ahmad,  Fiqh Hisab Rukyah, Jakarta: Erlangga, 2007,

Izzuddin, Ahmad, Ilmu Falak Praktis, Semarang: Komala Grafika, 2006,

Khazin, Muhyidin,  Ilmu Falak Dalam Teori dan Praktik,  Yogyakarta : Buana Pustaka, Cet IV,

Rifa’i, Muh, Terjemah Bulughul Maram, Semarang : Wicaksana, 1989
Rifa’i, Muh, Terjemah Kifayatul Akhyar, Semarang : Toha Putra, 1978,

Rusdy, Ibnu,  Bidayatul Mujtahid, Jakarta: Pustaka Amani, 2007,

Syihab, Quraish Tafsir Al- Misbah vol.2, Jakarata : Lentera Hati, 1432 H/2002 M,
http://my-blogwalking.blogspot.com/2009/09/benarkah-waktu-shalat-shubuh-mterlalu.html







Tidak ada komentar:

Posting Komentar