Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah
PERANGKAT RUKYAH 2
Dosen Pengampu : Dr. Rupi’i Amri, M.Ag
Disusun Oleh :
Fidia Nurul Maulidah           :   112111062
PROGRAM STUDI ILMU FALAK
FAKULTAS SYARI’AH DAN EKONOMI ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
 2013
BAB I
PENDAHULUAN
A.     
LATAR BELAKANG
 Penentuan awal bulan Kamariah
sangat penting bagi segenap kaum muslimin, sebab banyak ibadah dalam ajaran
agama Islam yang pelaksanaannya dikaitkan dengan perhitungan awal bulan Kamariah,
seperti halnya pelaksanaan puasa ramadhan, hari raya ‘Idul Fitri maupun ‘Idul
Adha
.
.
Pembahasan mengenai rukyah, tidak dapat
dipisahkan dari pemahaman tersendiri mengenai penentuan awal bulan Kamariah.
Pemahaman tersebut bergulir seiring penggunaan 
metode rukyah sebagai salah satu metode yang digunakan dalam penetapan
awal bulan Kamariah, disamping penggunaan metode hisab.
Rukyah sendiri dalam paparan arti, diinterpretasiakan
ke dalam banyak makna. Sehingga menimbulkan perbedaan tersendiri dalam
pemaknaannya. Dalam tataran praktis, rukyah
diidentikkan dengan melihat dengan langsung yang diambil dari masdar dari kata ra-a.
Namun tidak cukup sampai dalam pemaknaan tersebut, terdapat sebagian Ulama’
yang menginterpretasikan rukyah dengan makna penglihatan, dalam bahasa Inggris
disebut vision, yang artinya melihat, baik secara lahiriah maupun
bathiniah.
Oleh karena itu, untuk memahami
pengertian rukyah, perlu kiranya mengetahui dalil-dalil yang menjadi pedoman
utama dalam diskursus mengenai rukyah.
B.      
RUMUSAN MASALAH
1.        
Apa Pengertian Rukyah ?
2.        
Apa Dasar  Yang Menjadi Patokan Rukyah ?
3.        
Bagaimana Pandangan Ulama’ Mengenai Rukyah?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.     
Pengertian Rukyah
Rukyah secara harfiah berarti melihat. Rukyah merupakan isim masdar yang
berasal dari kata  رأى - 
رأيا -  رؤية yang lebih umum
dikenal dengan arti melihat dengan mata kepala.[1]
Menurut Munawwir kata rukyah memiliki 
dua arti yakni ابصر yang mengandung
makna “melihat” dan حسب yang mengandung
makna “menyangka, menduga atau mengira”.[2]
Dari pemahaman tersebut, nantinya sebagian ulama’ memaknai rukyah bukan hanya
rukyah dengan mata telanjang saja, akan tetapi memaknai rukyah dalam arti
menghisab dan tidak dimaknai dengan rukyah faktual.[3]
Ibnu Mandzur dalam Lisan al-‘Arab mengutip pendapat Ibnu Sayyidah
yang kemudian dikutip Susiknan dalam bukunya Hisab dan Rukyat, menyebutkan
bahwa rukyah secara literal berarti melihat dengan mata atau hati (an-nadzru
bi al-‘ain wa al-qalb).[4]
Terdapat pula pendapat lain yang menyebutkan bahwa rukyah tidak semata-mata
melihat dengan mata tetapi juga berarti melihat dengan ilmu (rasio), melalui
hasil perhitungan ilmu hisab.[5]
Hal tersebut menunjukkan bahwa rukyah menurut sebagian Ulama’ tidak hanya
melihat dengan mata telanjang saja, namun memberikan keluasan makna yakni rukyah
bil qalbi atau rukyah dengan hati dan rukyah dengan ilmu yang diwakili
dengan perhitungan ilmu hisab. 
Sedangkan Ghazalie Masroeri, mengatakan,
bahwa rukyah bermakna
melihat dengan akal pikiran perlu dikoreksi karena bertentangan dengan kaidah
dalam bahasa arab, diantaranya adalah :[6]
1.   
Ra-a (راى) yang mempunyai
arti علم
/ أدرك dan ظن / حسب  berasal dari رأي, sedang yang
disebut dalam teks hadits tentang rukyah adalah رؤية. Oleh karena itu,
yang disebut dalam hadits Nabi SAW adalah لرؤيته  (karena melihat penampakan hilal), bukan لرأيه (karena memahami,
menduga, menyakini, berpendapat adanya hilal).
2.   
Ra-a (راى) yang diartikan علم / أدرك menurut kaidah
bahasa arab, maf’ul bih (objek) nya harus berbentuk abstrak, seperti : 
|M÷uäur& Ï%©!$# Ü>Éjs3ã ÉúïÏe$!$$Î/ ÇÊÈ 
) Q.S Al-Ma’un : 1(
Sedangkan Ra-a (rukyah) yang disebut dalam teks-teks hadits,
obyeknya nyata secara fisik yaitu hilal.
3.   
Ra-a (راى) yang diartikan ظن / حسب  , menurut kaidah bahasa arab mempunyai dua maf’ul
bih (obyek), contohnya : 
öNåk¨XÎ) ¼çmtR÷rtt #YÏèt/ ÇÏÈ  
çm1ttRur $Y7Ìs% ÇÐÈ 
Q.S.
Al Ma’arij ayat 6-7 (
Menurut pendapat kedua, rukyah bermakna
pengamatan hilal secara langsung kata ra-a dalam berbagai hadits,
obyeknya hanya satu sebagaimana bunyi teks tentang rukyah yang selama ini
dijalankan oleh umat Islam, yakni rukyah secara langsung.
Melihat berbagai macam bentuk
interpretasi terhadap pemaknaan kata rukyah secara epistimologi diatas, maka
secara tidak langsung dapat menimbulkan makna yang berbeda-beda pula. Namun
perlu diketahui bahwasanya lafadz rukyah sudah merupakan istilah yang biasa
digunakan oleh Ulama’ Fiqh dan masyarakat luas untuk pengertian melihat bulan
baru (hilal) yang ada kaitannya dengan awal bulan Kamariah.
Sedangkan menurut terminologi, rukyah atau
lengkapnya rukyah al-hilal adalah suatu kegiatan atau usaha melihat hilal atau
Bulan sabit di langit (ufuk) sebelah barat sesaat Matahari terbenam menjelang
awal bulan baru, khususnya menjelang bulan Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah,
untuk menentukan kapan bulan baru itu dimulai.[7]
Atau dalam istilah Astronomi disebut observasi.
Dengan demikian, dapat diambil
kesimpulan bahwasanya lafadz rukyah memiliki pemaknaan yang beragam. Ada yang
berpendapat rukyah itu mengandung makna rukyah bil fi’li yang berarti
melihat atau mengamati hilal dengan mata ataupun dengan teleskop pada saat Matahari terbenam menjelang bulan baru. Terdapat pula pemaknaan lain yakni rukyah
bil ‘Ilmi, mereka mengetahui dan memperkirakan kapan awal dan akhir bulan
Kamariah memakai sistem perhitungan (hisab) tanpa harus melihat hilal. Sehingga
metode ini lebih sering disebut sebagai hisab. 
B.    
Dalil Syar’I Rukyah
Rukyah sebagai dasar penentuan awal
bulan Qamariyah, didasarkan atas pemahaman bahwa nash-nash itu bersifat ta’abbudi.
Dasar hukum Rukyah hilal ada dua, yakni dalil yang berasal dari Al-Qur’an dan
Hadits. 
1.       
Dasar yang berasal dari Al-Qur’an
 QS Al Baqarah ayat
185
ãöky tb$ÒtBu üÏ%©!$# tAÌRé& ÏmÏù ãb#uäöà)ø9$# Wèd Ĩ$¨Y=Ïj9 ;M»oYÉit/ur z`ÏiB 3yßgø9$# Èb$s%öàÿø9$#ur 4 `yJsù yÍky ãNä3YÏB tök¤¶9$# çmôJÝÁuù=sù ( `tBur tb$2 $³ÒÍsD ÷rr& 4n?tã 9xÿy ×o£Ïèsù ô`ÏiB BQ$r& tyzé& 3 ßÌã ª!$# ãNà6Î/ tó¡ãø9$# wur ßÌã ãNà6Î/ uô£ãèø9$# (#qè=ÏJò6çGÏ9ur no£Ïèø9$# (#rçÉi9x6çGÏ9ur ©!$# 4n?tã $tB öNä31yyd öNà6¯=yès9ur crãä3ô±n@ ÇÊÑÎÈ   
(Beberapa hari yang ditentukan itu
adalah) bulan Ramadhan, bulan yang didalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran
sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu
dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa diantara
kamu hadir ( di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaknya ia
berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia
berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), 
sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah
menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan
hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mencukupkan
bilangannya dan hendaknya kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang
diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.
Al Maraghi dalam Tafsirnya menafsiri
ayat ini dengan “ Barangsiapa yang menyaksikan masuknya bulan sedang ia
tidak dalam perjalanan, dan kesaksiannya itu dengan perantaraan melihat hilal
tanda masuk bulan, maka hendaknya berpuasa. Jadi, siapapun melihat hilal atau
mengetahui melalui orang lain, hendaknya ia melakukan puasa.”[8]
Menurut As-Syuyuti dalam tafsirnya lafadz فمن شهد (maka barang siapa
yang menyaksikan) artinya hadir.[9]
2.     
Dasar yang berasal dari Hadits
a.       
Hadits Riwayat ibn Umar
حدثنا أبو بكر بن أبي شيبة. حدثنا أبو
أسامة حدثنا عبيد الله عن نافع, عن ابن عمر أن رسول الله صلى الله عليه وسلم.  ذكر رمضان فضرب بيديه فقال : الشهر هكذا وهكذا
وهكذا (ثم عقد إبهامه في الثالثة ) فصوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته فإن أغمى عليكم
فاقدروا له ثلاثين. (رواه مسلم)
Artinya : Bercerita kepada kami Abu
Bakar bin Abi Syaibah bercerita kepada kami Abu Usamah bercerita kepada kami
Ubaidillah dari Nafi’ dari Ibn Umar ra bahwa rasulullah SAW menuturkan masalah
bulan Ramadhan sambil menunjukkan kedua tangannya kemudian berkata : bulan itu
seperti ini, seperti ini, seperti ini, kemudian menelungkupkan ibu jarinya pada
saat gerakan yang ketiga. Maka berpuasahlah kalian karena melihat hilal dan
berbukalah karena melihat hilal pula, jika terhalang oleh awan terhadapmu maka
genapkanlah tiga puluh hari.[10]
b.      
Hadits Riwayat Abu Hurairoh
حدثنا ادم حدثنا شعبة حدثنا محمد بن زياد
قال : سمعت أبا هريرة  يقول قال : قال
النبي صلى الله عليه وسلم – او قال : قال أبو القاسم : صوموا لرؤيته وأفطروا
لرؤيته فإن غبي عليكم فأكمل عدة شعبان ثلاثين. (رواه البخارى)
Artinya : Bercerita kepada kami Adam bercerita kepada kami
Syu’bah bercerita kepada kami Muhammad bin Ziyad dia berkata: saya mendengar
Abu Hurairah dia berkata Nabi SAW bersabda atau berkata Abu Qasim SAW :
berpuasalah kamu karena melihat hilal dan berbukalah karena melihat hilal pula,
jika hilal terhalang oleh awan terhadapmu maka genapkanlah bulan Sya’ban tiga
puluh hari.[11]
c.       
Hadits Riwayat Ibn Abbas
حدثنا قتيبة حدثنا ابو الاحوص عن سماك بن حرب عن عكرمة
عن ابن عباس قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لا تصوموا قبل رمضان, صوموا
لرؤية وافطروا لرؤية فإن حالت دون غيابة فأكملوا ثلاثين يوما.   
Artinya : Menceritakan kepada kami Qutaibah,
menceritakan kepada kami abu Ahwash, dari Simak bin Harb dari ‘Ikrimah dari ibn
Abbas, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda : Janganlah kamu berpuasa sebelum
Ramadhan. Berpuasalah kamu karena melihat hilal (bulan sabit) dan berbukalah
kamu karena melihatnya. Apabila keadaan sedang mendung, maka sempurnakanlah
tiga puluh hari. (H.R. Tirmidzi)[12]
Abu Isa berkata, bahwasanya Hadits ibnu
Abbas diatas termasuk kriteria hadits hasan shahih, dan hadits ini juga
diriwayatkan dari ibnu Abbas dengan sanad atau jalur lain.[13]
Hadits-hadits diatas, dan hadits-hadits
lain yang memiliki kemiripan dengannya memberikan pengertian bahwa ada dua cara
yang dipakai oleh umat Islam sejak zaman Nabi hingga sekarang dalam memulai dan
mengakhiri bulan Ramadhan, yaitu Pertama,  dengan melihat hilal pada tanggal 1 Ramadhan.
Hal ini dikenal dengan metode rukyah atau rukyatul hilal. Kedua, apabila
hilal tidak dapat dirukyah pada malam ke-30 pada bulan Sya’ban karena terhalang
oleh awan maupun mendung maka dilakukan metode istikmal.[14]
C.   
Pandangan Ulama’ mengenai rukyah
Para Ulama’ berbeda pendapat dalam
memahami dzahir hadits-hadits yang berhubungan
dengan rukyah,
sehingga melahirkan perbedaan pendapat dalam
pemaknaan rukyah sendiri. Ada yang berpendapat bahwa penentuan awal bulan Ramadhan,
Syawal dan Dzulhijjah harus didasarkan pada rukyah atau melihat hilal yang
dilakukan pada tanggal 29-nya. Apabila rukyah tidak berhasil melihat hilal,
baik dikarenakan hilal belum bisa dilihat maupun karena terhalang mendung, maka penentuan awal bulan seperti yang
dijelaskan diatas yakni menggunakan istikmal. Menurut madzhab ini,
rukyah bersifat ta’abbudi ghairu al-ma’qul ma’na. Artinya tidak dapat
dirasionalkan, sehingga pengertiannya tidak dapat diperluas dan dikembangkan
dan hanya terbatas melihat dengan mata telanjang.[15]
Bagi mereka, upaya untuk melihat Bulan (rukyah) harus tetap dilakukan karena didalamnya terdapat unsur
ibadah. Rukyah mempunyai kekuatan sebagai satu-satunya penentu yang dapat
membatalkan hasil perhitungan (hisab). Karena itu, meski sudah melakukan
prediksi, mereka tidak berani memastikan awal bulan Ramadhan, Syawwal, maupun
Dzulhijjah dengan hisab tetapi menunggu hasil rukyah di lapangan.
Ada juga yang berpendapat bahwa rukyah
dalam hadits-hadits tersebut termasuk ta’aqquli ma’qul al-ma’na, yakni
dapat dirasionalkan, sehingga diperluas dan dapat dikembangkan. Jadi, kata
rukyah dapat diartikan antara lain dengan mengetahui, sekalipun bersifat dzanni
(dugaan kuat) tentang adanya hilal, kendatipun tidak mungkin dapat dilihat.[16]
Terdapat pendapat ulama’ yang secara tegas tidak memperbolehkan
penetapan awal bulan Kamariah dengan ilmu hisab sebagaimana pendapat Imam Hanafi,
Imam Syafi’I, mayoritas ulama’ salaf dan khalaf.[17]
Sedangkan ulama yang memperbolehkan hisab diantaranya adalah Muthorif bin
Abdullah (tokoh terkemuka tabi‟in), Ibnu Suraij, Ibnu Qutaibah dan sebagian
ulama mutaakhirin (zaman sekarang).  
Terjadinya perbedaan tersebut disebabkan cara pandang terhadap kutipan
hadits Ibnu Umar. Argumentasi fuqoha‟ yang tidak memperbolehkan penetapan awal
bulan  Kamariah  yang terkait dengan waktu ibadah dengan hisab
karena menganggap bahwa hadits tersebut sifatnya  masih global, dan ditakhsis dengan
hadits yang diriwayatkan Bukhori :
فصوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته فإن غم عليكم فاكملوا العدة ثلاثين
Artinya : “Berpuasalah kamu semua karena terlihatnya
hilal  (Ramadlan) dan berbukalah kamu
semua (berhari raya idul fitri)  karena
terlihatnya hilal (Syawwal), jika ia tertutup bagimu maka sempurnakanlah 30
hari”. (HR. Bukhori)
Imam Nawawi dan fuqoha‟ yang lain juga berpendapat demikian, dengan alasan
ketidakmampuan menghitung pada zaman Nabi sehingga menjadi suatu kesulitan bagi
mereka.
Sedangkan fuqoha‟ yang memperbolehkan penetapan
awal bulan Qamariah dengan hisab yaitu karena memang diperuntukkan bagi mereka
yang bisa dan mengetahui ilmu falak, sedangkan 
فاكملوا العدة ثلاثين ditujukan untuk orang awam (bagi mereka
yang tidak bisa ilmu hisab).[18]
Perbedaan pendapat tersebut dikarenakan karena sebelum berkembangnya ilmu Astronomi,
rukyah yang diinterpretasikan dari hadits Rasulullah yaitu rukyah yang
dilakukan secara visual. Padahal bila dilihat pada era masa sekarang banyak
sekali problem yang menghambat pengamatan hilal secara visual, diantaranya : Pertama,
kondisi cuaca seperti mendung ; kedua, ketinggian matahari dan hilal
; ketiga, jarak antara Bulan dan Matahari (jika hilal terlalu dekat,
meskipun Matahari telah tenggelam, berkas sinarnya masih menyilaukan sehingga
hilal tidak tampak); keempat, kondisi atmosfer Bumi sepertiakibat polusi
udara, kabut dan sebagainya; kelima, kualitas mata pengamat.[19]
Susiknan dalam bukunya mencoba
menganalisis hadits-hadits tersebut melalui prespektif historis. Ia mengatakan
bahwasanya esensi hadits rukyah adalah proses
penentuan awal bulan kamariah, bukan rukyahnya itu sendiri. Menurutnya, rukyah hanya merupakan salah satu sarana untuk menentukan awal bulan
kamariah. Kebetulan yang dihadapi Rasulullah pada saat itu adalah masyarakat
Madinah, jadi rukyah zaman Nabi dalam pengertian melihat dengan mata telanjang
cocok dengan keadaan masyarakat Madinah yang bercorak agraris. Jadi kondisi tersebut yang membuat rukyah hanya melalui
pengamatan dengan mata secara langsung. Hal tersebut berdasarkan hasil kajiannya yang menunjukkan
hadits-hadits rukyah bernuansa Madinah karena perintah puasa muncul di Madinah.[20]
 Jadi menurut pendapatnya diatas, jika
menjadikan makna rukyah dalam konteks bukan hanya Madinah saja tetapi
melibatkan konteks Makkah. Ini berarti rukyah tidak semata-mata melihat dengan
mata telanjang.
Dengan demikian, menurut hemat penulis perbedaan
yang terjadi terhadap pemaknaan dasar Syara’ 
lumrah terjadi. Karena dengan sekian dasar yang berasal dari Al-Qur’an
dan Hadits tidak ada petunjuk operasional yang jelas, rinci dan bersifat
kuantitatif seperti halnya masalah waris. Hal tersebut tentunya terdapat
hikmahnya, ummat Islam ditantang untuk melakukan riset ilmiah untuk
memperjelas, merinci dan mengkuantitaskan pedoman umum dalam nash
Qu’an dan Hadits. Maka dari itu, sesuai dengan riset ilmiah, tidak ada yang
bersifat benar mutlak untuk selamanya dan di segala tempat semuanya bersifat
dinamis.
BAB III
KESIMPULAN
Lafadz rukyah memiliki pemaknaan yang
beragam. Ada yang berpendapat rukyah itu mengandung makna rukyah bil fi’li
yang berarti melihat atau mengamati hilal dengan mata ataupun dengan teleskop
pada saat matahari terbenam menjelang bulan baru. Terdapat pula pemaknaan lain
yakni rukyah bil ‘Ilmi, mereka mengetahui dan memperkirakan kapan awal
dan akhir bulan Kamariah memakai sistem perhitungan (hisab) tanpa harus melihat
hilal. Sehingga metode ini lebih sering disebut sebagai hisab. 
Perbedaan yang terjadi terhadap
pemaknaan dasar Syara’  lumrah terjadi.
Karena dengan sekian dasar yang berasal dari Al-Qur’an dan Hadits tidak ada
petunjuk operasional yang jelas, rinci dan bersifat kuantitatif seperti halnya
masalah waris. Hal tersebut tentunya terdapat hikmahnya, ummat Islam ditantang
untuk melakukan riset ilmiah untuk memperjelas, merinci dan megkuantitaskan pedoman
umum dalam nash Qu’an dan Hadits. Maka dari itu, sesuai dengan riset ilmiah,
tidak ada yang bersifat benar mutlak untuk selamanya dan di segala tempat
semuanya bersifat dinamis.
BAB
IV
PENUTUP
Demikianlah makalah ini kami buat, semoga dapat  bermanfaat bagi pemakalah khususnya dan pada
umumnya bagi pembaca. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna, karena di dalamnya masih terdapat banyak kesalahan. Penulis hanya
dapat mengucapkan permohonan maaf yang sebesar-besarnya kepada para pembaca,
sekaligus mengharapkan kritik dan saran konstruktif dari para pembaca demi
perbaikan makalah-makalah yang selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Maraghi,
Mushthafa, Tafsir Al Maraghi Terj. Anshori Umar Sitanggal, Semarang : PT
Karya Toha Putra, Cet 2 1993
As Syuyuthi, Jalaluddin, Tafsir Jalalein Juz 2,
Bandung : Sinar Baru Algesindo, 2008
Azhari,  Susiknan,
Hisab dan Rukyat, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, Cet I 2007
Depag RI, Ephemeris Hisab Rukyat 2004,Jakarta,
Ditpenpera, 2004
Imam Bukhari, Shahih Bukhari, Beirut : Darul Fikr,
1994 
Imam Muslim, Shahih Muslim Juz 2, Beirut : Dar
Kutb Al Ulumiyah, 1992
Izzuddin, Ahmad, Fiqih Hisab Rukyah, Jakarta :
Erlangga, 2007
Khazin,
Muhyiddin, Ilmu Falak dalam Teori dan Praktik, Yogyakarta : Buana
Pustaka, Cet IV 2011
Munawwir, Kamus Indonesia-Arab, Surabaya : Pustaka
Progresif, 1999
Nashiruddin, Muhammad Albani, Shahih Sunan Tirmidzi,
Depok : Pustaka Azzam, tt, 
Nashirudin, Muh, Kalender Hijriah Universal,
Semarang : El- Wafa, 2013
Shofiyullah,  Almuhtaj
Seputar Awal bulan Hijriah  Edisi Baru
dilengkapi Perhitungan Gerhana Bulan, Malang: Ponpes Miftahul Huda, cet.II,
Juli 2007
[1] Susiknan Azhari, Ensiklopedi Hisab
Rukyah, Yogyakarta : Pustaka pelajar, Cet II 2008, hlm. 183
[2] Munawwir, Kamus Indonesia-Arab, Surabaya
: Pustaka Progresif, 1999, hlm. 229
[3] Muh Nashirudin, Kalender Hijriah
Universal, Semarang : El- Wafa, 2013, hlm. 103
[4] Susiknan Azhari, Hisab dan Rukyat,
Yogyakarta : Pustaka Pelajar, Cet I 2007, hlm. 65
[6] Muh Nashirudin, Loc.Cit 
[7] Muhyiddin Khazin, Ilmu Falak dalam
Teori dan Praktik, Yogyakarta : Buana Pustaka, Cet IV 2011, hlm. 173
[8] A. Mushthafa Al-Maraghi, Tafsir Al
Maraghi Terj. Anshori Umar Sitanggal, Semarang : PT Karya Toha Putra, Cet 2
1993, hlm. 126-127
[9]  Jalaluddin As Syuyuthi, Tafsir Jalalein Juz
2, Bandung : Sinar Baru Algesindo, 2008, hlm. 98
[10] Imam Muslim, Shahih Muslim Juz 2,
Beirut : Dar Kutb Al Ulumiyah, 1992, hlm. 709
[11] Imam Bukhari, Shahih Bukhari,
Beirut : Darul Fikr, 1994, hlm. 399
[12] Muhammad Nashiruddin Albani, Shahih
Sunan Tirmidzi, Depok : Pustaka Azzam, tt, hlm. 553
[14] Muh Nashirudin, Op.Cit  hlm. 106
[15] Ahmad Izzuddin, Fiqih Hisab Rukyah,
Jakarta : Erlangga, 2007,  hlm 44
[17]  Shofiyullah, 
Almuhtaj Seputar Awal bulan Hijriah 
Edisi Baru dilengkapi Perhitungan Gerhana Bulan, Malang: Ponpes
Miftahul Huda, cet.II, Juli 2007, hlm.21.
[19] Depag
RI, Ephemeris Hisab Rukyat 2004,Jakarta, Ditpenpera,2004, hlm. 87 
[20] Susiknan Azhari, Op.Cit, hlm.66
Tidak ada komentar:
Posting Komentar