Selasa, 08 April 2014

RUKYAH DAN DASAR HUKUMNYA


Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah
PERANGKAT RUKYAH 2
Dosen Pengampu : Dr. Rupi’i Amri, M.Ag

Disusun Oleh :
Fidia Nurul Maulidah           :   112111062


PROGRAM STUDI ILMU FALAK
FAKULTAS SYARI’AH DAN EKONOMI ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
 2013
BAB I
PENDAHULUAN
A.      LATAR BELAKANG
 Penentuan awal bulan Kamariah sangat penting bagi segenap kaum muslimin, sebab banyak ibadah dalam ajaran agama Islam yang pelaksanaannya dikaitkan dengan perhitungan awal bulan Kamariah, seperti halnya pelaksanaan puasa ramadhan, hari raya ‘Idul Fitri maupun ‘Idul Adha
.
Pembahasan mengenai rukyah, tidak dapat dipisahkan dari pemahaman tersendiri mengenai penentuan awal bulan Kamariah. Pemahaman tersebut bergulir seiring penggunaan  metode rukyah sebagai salah satu metode yang digunakan dalam penetapan awal bulan Kamariah, disamping penggunaan metode hisab.
Rukyah sendiri dalam paparan arti, diinterpretasiakan ke dalam banyak makna. Sehingga menimbulkan perbedaan tersendiri dalam pemaknaannya. Dalam tataran praktis, rukyah diidentikkan dengan melihat dengan langsung yang diambil dari masdar dari kata ra-a. Namun tidak cukup sampai dalam pemaknaan tersebut, terdapat sebagian Ulama’ yang menginterpretasikan rukyah dengan makna penglihatan, dalam bahasa Inggris disebut vision, yang artinya melihat, baik secara lahiriah maupun bathiniah.
Oleh karena itu, untuk memahami pengertian rukyah, perlu kiranya mengetahui dalil-dalil yang menjadi pedoman utama dalam diskursus mengenai rukyah.




B.       RUMUSAN MASALAH

1.         Apa Pengertian Rukyah ?
2.         Apa Dasar  Yang Menjadi Patokan Rukyah ?
3.         Bagaimana Pandangan Ulama’ Mengenai Rukyah?


BAB II
PEMBAHASAN
A.      Pengertian Rukyah
Rukyah secara harfiah berarti melihat. Rukyah merupakan isim masdar yang berasal dari kata  رأى -  رأيا -  رؤية yang lebih umum dikenal dengan arti melihat dengan mata kepala.[1] Menurut Munawwir kata rukyah memiliki  dua arti yakni ابصر yang mengandung makna “melihat” dan حسب yang mengandung makna “menyangka, menduga atau mengira”.[2] Dari pemahaman tersebut, nantinya sebagian ulama’ memaknai rukyah bukan hanya rukyah dengan mata telanjang saja, akan tetapi memaknai rukyah dalam arti menghisab dan tidak dimaknai dengan rukyah faktual.[3]
Ibnu Mandzur dalam Lisan al-‘Arab mengutip pendapat Ibnu Sayyidah yang kemudian dikutip Susiknan dalam bukunya Hisab dan Rukyat, menyebutkan bahwa rukyah secara literal berarti melihat dengan mata atau hati (an-nadzru bi al-‘ain wa al-qalb).[4] Terdapat pula pendapat lain yang menyebutkan bahwa rukyah tidak semata-mata melihat dengan mata tetapi juga berarti melihat dengan ilmu (rasio), melalui hasil perhitungan ilmu hisab.[5] Hal tersebut menunjukkan bahwa rukyah menurut sebagian Ulama’ tidak hanya melihat dengan mata telanjang saja, namun memberikan keluasan makna yakni rukyah bil qalbi atau rukyah dengan hati dan rukyah dengan ilmu yang diwakili dengan perhitungan ilmu hisab.
Sedangkan Ghazalie Masroeri, mengatakan, bahwa rukyah bermakna melihat dengan akal pikiran perlu dikoreksi karena bertentangan dengan kaidah dalam bahasa arab, diantaranya adalah :[6]
1.    Ra-a (راى) yang mempunyai arti علم / أدرك dan ظن / حسب  berasal dari رأي, sedang yang disebut dalam teks hadits tentang rukyah adalah رؤية. Oleh karena itu, yang disebut dalam hadits Nabi SAW adalah لرؤيته  (karena melihat penampakan hilal), bukan لرأيه (karena memahami, menduga, menyakini, berpendapat adanya hilal).
2.    Ra-a (راى) yang diartikan علم / أدرك menurut kaidah bahasa arab, maf’ul bih (objek) nya harus berbentuk abstrak, seperti :
|M÷ƒuäur& Ï%©!$# Ü>Éjs3ムÉúïÏe$!$$Î/ ÇÊÈ  ) Q.S Al-Ma’un : 1(
Sedangkan Ra-a (rukyah) yang disebut dalam teks-teks hadits, obyeknya nyata secara fisik yaitu hilal.
3.    Ra-a (راى) yang diartikan ظن / حسب  , menurut kaidah bahasa arab mempunyai dua maf’ul bih (obyek), contohnya :
öNåk¨XÎ) ¼çmtR÷rttƒ #YÏèt/ ÇÏÈ   çm1ttRur $Y7ƒÌs% ÇÐÈ  Q.S. Al Ma’arij ayat 6-7 (
Menurut pendapat kedua, rukyah bermakna pengamatan hilal secara langsung kata ra-a dalam berbagai hadits, obyeknya hanya satu sebagaimana bunyi teks tentang rukyah yang selama ini dijalankan oleh umat Islam, yakni rukyah secara langsung.
Melihat berbagai macam bentuk interpretasi terhadap pemaknaan kata rukyah secara epistimologi diatas, maka secara tidak langsung dapat menimbulkan makna yang berbeda-beda pula. Namun perlu diketahui bahwasanya lafadz rukyah sudah merupakan istilah yang biasa digunakan oleh Ulama’ Fiqh dan masyarakat luas untuk pengertian melihat bulan baru (hilal) yang ada kaitannya dengan awal bulan Kamariah.
Sedangkan menurut terminologi, rukyah atau lengkapnya rukyah al-hilal adalah suatu kegiatan atau usaha melihat hilal atau Bulan sabit di langit (ufuk) sebelah barat sesaat Matahari terbenam menjelang awal bulan baru, khususnya menjelang bulan Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah, untuk menentukan kapan bulan baru itu dimulai.[7] Atau dalam istilah Astronomi disebut observasi.
Dengan demikian, dapat diambil kesimpulan bahwasanya lafadz rukyah memiliki pemaknaan yang beragam. Ada yang berpendapat rukyah itu mengandung makna rukyah bil fi’li yang berarti melihat atau mengamati hilal dengan mata ataupun dengan teleskop pada saat Matahari terbenam menjelang bulan baru. Terdapat pula pemaknaan lain yakni rukyah bil ‘Ilmi, mereka mengetahui dan memperkirakan kapan awal dan akhir bulan Kamariah memakai sistem perhitungan (hisab) tanpa harus melihat hilal. Sehingga metode ini lebih sering disebut sebagai hisab.

B.     Dalil Syar’I Rukyah
Rukyah sebagai dasar penentuan awal bulan Qamariyah, didasarkan atas pemahaman bahwa nash-nash itu bersifat ta’abbudi. Dasar hukum Rukyah hilal ada dua, yakni dalil yang berasal dari Al-Qur’an dan Hadits.
1.        Dasar yang berasal dari Al-Qur’an
 QS Al Baqarah ayat 185
ãöky­ tb$ŸÒtBu üÏ%©!$# tAÌRé& ÏmŠÏù ãb#uäöà)ø9$# Wèd Ĩ$¨Y=Ïj9 ;M»oYÉit/ur z`ÏiB 3yßgø9$# Èb$s%öàÿø9$#ur 4 `yJsù yÍky­ ãNä3YÏB tök¤9$# çmôJÝÁuŠù=sù ( `tBur tb$Ÿ2 $³ÒƒÍsD ÷rr& 4n?tã 9xÿy ×o£Ïèsù ô`ÏiB BQ$­ƒr& tyzé& 3 ߃̍ムª!$# ãNà6Î/ tó¡ãŠø9$# Ÿwur ߃̍ムãNà6Î/ uŽô£ãèø9$# (#qè=ÏJò6çGÏ9ur no£Ïèø9$# (#rçŽÉi9x6çGÏ9ur ©!$# 4n?tã $tB öNä31yyd öNà6¯=yès9ur šcrãä3ô±n@ ÇÊÑÎÈ  
(Beberapa hari yang ditentukan itu adalah) bulan Ramadhan, bulan yang didalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa diantara kamu hadir ( di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaknya ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa),  sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaknya kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.
Al Maraghi dalam Tafsirnya menafsiri ayat ini dengan “ Barangsiapa yang menyaksikan masuknya bulan sedang ia tidak dalam perjalanan, dan kesaksiannya itu dengan perantaraan melihat hilal tanda masuk bulan, maka hendaknya berpuasa. Jadi, siapapun melihat hilal atau mengetahui melalui orang lain, hendaknya ia melakukan puasa.”[8] Menurut As-Syuyuti dalam tafsirnya lafadz فمن شهد (maka barang siapa yang menyaksikan) artinya hadir.[9]
2.      Dasar yang berasal dari Hadits
a.        Hadits Riwayat ibn Umar
حدثنا أبو بكر بن أبي شيبة. حدثنا أبو أسامة حدثنا عبيد الله عن نافع, عن ابن عمر أن رسول الله صلى الله عليه وسلم.  ذكر رمضان فضرب بيديه فقال : الشهر هكذا وهكذا وهكذا (ثم عقد إبهامه في الثالثة ) فصوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته فإن أغمى عليكم فاقدروا له ثلاثين. (رواه مسلم)
Artinya : Bercerita kepada kami Abu Bakar bin Abi Syaibah bercerita kepada kami Abu Usamah bercerita kepada kami Ubaidillah dari Nafi’ dari Ibn Umar ra bahwa rasulullah SAW menuturkan masalah bulan Ramadhan sambil menunjukkan kedua tangannya kemudian berkata : bulan itu seperti ini, seperti ini, seperti ini, kemudian menelungkupkan ibu jarinya pada saat gerakan yang ketiga. Maka berpuasahlah kalian karena melihat hilal dan berbukalah karena melihat hilal pula, jika terhalang oleh awan terhadapmu maka genapkanlah tiga puluh hari.[10]

b.       Hadits Riwayat Abu Hurairoh
حدثنا ادم حدثنا شعبة حدثنا محمد بن زياد قال : سمعت أبا هريرة  يقول قال : قال النبي صلى الله عليه وسلم – او قال : قال أبو القاسم : صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته فإن غبي عليكم فأكمل عدة شعبان ثلاثين. (رواه البخارى)
Artinya : Bercerita kepada kami Adam bercerita kepada kami Syu’bah bercerita kepada kami Muhammad bin Ziyad dia berkata: saya mendengar Abu Hurairah dia berkata Nabi SAW bersabda atau berkata Abu Qasim SAW : berpuasalah kamu karena melihat hilal dan berbukalah karena melihat hilal pula, jika hilal terhalang oleh awan terhadapmu maka genapkanlah bulan Sya’ban tiga puluh hari.[11]
c.        Hadits Riwayat Ibn Abbas
حدثنا قتيبة حدثنا ابو الاحوص عن سماك بن حرب عن عكرمة عن ابن عباس قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لا تصوموا قبل رمضان, صوموا لرؤية وافطروا لرؤية فإن حالت دون غيابة فأكملوا ثلاثين يوما.   
Artinya : Menceritakan kepada kami Qutaibah, menceritakan kepada kami abu Ahwash, dari Simak bin Harb dari ‘Ikrimah dari ibn Abbas, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda : Janganlah kamu berpuasa sebelum Ramadhan. Berpuasalah kamu karena melihat hilal (bulan sabit) dan berbukalah kamu karena melihatnya. Apabila keadaan sedang mendung, maka sempurnakanlah tiga puluh hari. (H.R. Tirmidzi)[12]
Abu Isa berkata, bahwasanya Hadits ibnu Abbas diatas termasuk kriteria hadits hasan shahih, dan hadits ini juga diriwayatkan dari ibnu Abbas dengan sanad atau jalur lain.[13]
Hadits-hadits diatas, dan hadits-hadits lain yang memiliki kemiripan dengannya memberikan pengertian bahwa ada dua cara yang dipakai oleh umat Islam sejak zaman Nabi hingga sekarang dalam memulai dan mengakhiri bulan Ramadhan, yaitu Pertama,  dengan melihat hilal pada tanggal 1 Ramadhan. Hal ini dikenal dengan metode rukyah atau rukyatul hilal. Kedua, apabila hilal tidak dapat dirukyah pada malam ke-30 pada bulan Sya’ban karena terhalang oleh awan maupun mendung maka dilakukan metode istikmal.[14]

C.    Pandangan Ulama’ mengenai rukyah
Para Ulama’ berbeda pendapat dalam memahami dzahir hadits-hadits yang berhubungan dengan rukyah, sehingga melahirkan perbedaan pendapat dalam pemaknaan rukyah sendiri. Ada yang berpendapat bahwa penentuan awal bulan Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah harus didasarkan pada rukyah atau melihat hilal yang dilakukan pada tanggal 29-nya. Apabila rukyah tidak berhasil melihat hilal, baik dikarenakan hilal belum bisa dilihat maupun karena terhalang mendung, maka penentuan awal bulan seperti yang dijelaskan diatas yakni menggunakan istikmal. Menurut madzhab ini, rukyah bersifat ta’abbudi ghairu al-ma’qul ma’na. Artinya tidak dapat dirasionalkan, sehingga pengertiannya tidak dapat diperluas dan dikembangkan dan hanya terbatas melihat dengan mata telanjang.[15]
Bagi mereka, upaya untuk melihat Bulan (rukyah) harus tetap dilakukan karena didalamnya terdapat unsur ibadah. Rukyah mempunyai kekuatan sebagai satu-satunya penentu yang dapat membatalkan hasil perhitungan (hisab). Karena itu, meski sudah melakukan prediksi, mereka tidak berani memastikan awal bulan Ramadhan, Syawwal, maupun Dzulhijjah dengan hisab tetapi menunggu hasil rukyah di lapangan.
Ada juga yang berpendapat bahwa rukyah dalam hadits-hadits tersebut termasuk ta’aqquli ma’qul al-ma’na, yakni dapat dirasionalkan, sehingga diperluas dan dapat dikembangkan. Jadi, kata rukyah dapat diartikan antara lain dengan mengetahui, sekalipun bersifat dzanni (dugaan kuat) tentang adanya hilal, kendatipun tidak mungkin dapat dilihat.[16]
Terdapat pendapat ulama’ yang secara tegas tidak memperbolehkan penetapan awal bulan Kamariah dengan ilmu hisab sebagaimana pendapat Imam Hanafi, Imam Syafi’I, mayoritas ulama’ salaf dan khalaf.[17] Sedangkan ulama yang memperbolehkan hisab diantaranya adalah Muthorif bin Abdullah (tokoh terkemuka tabi‟in), Ibnu Suraij, Ibnu Qutaibah dan sebagian ulama mutaakhirin (zaman sekarang). 
Terjadinya perbedaan tersebut disebabkan cara pandang terhadap kutipan hadits Ibnu Umar. Argumentasi fuqoha‟ yang tidak memperbolehkan penetapan awal bulan  Kamariah  yang terkait dengan waktu ibadah dengan hisab karena menganggap bahwa hadits tersebut sifatnya  masih global, dan ditakhsis dengan hadits yang diriwayatkan Bukhori :
فصوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته فإن غم عليكم فاكملوا العدة ثلاثين
Artinya : “Berpuasalah kamu semua karena terlihatnya hilal  (Ramadlan) dan berbukalah kamu semua (berhari raya idul fitri)  karena terlihatnya hilal (Syawwal), jika ia tertutup bagimu maka sempurnakanlah 30 hari”. (HR. Bukhori)
Imam Nawawi dan fuqoha‟ yang lain juga berpendapat demikian, dengan alasan ketidakmampuan menghitung pada zaman Nabi sehingga menjadi suatu kesulitan bagi mereka. Sedangkan fuqoha‟ yang memperbolehkan penetapan awal bulan Qamariah dengan hisab yaitu karena memang diperuntukkan bagi mereka yang bisa dan mengetahui ilmu falak, sedangkan  فاكملوا العدة ثلاثين ditujukan untuk orang awam (bagi mereka yang tidak bisa ilmu hisab).[18]
Perbedaan pendapat tersebut dikarenakan karena sebelum berkembangnya ilmu Astronomi, rukyah yang diinterpretasikan dari hadits Rasulullah yaitu rukyah yang dilakukan secara visual. Padahal bila dilihat pada era masa sekarang banyak sekali problem yang menghambat pengamatan hilal secara visual, diantaranya : Pertama, kondisi cuaca seperti mendung ; kedua, ketinggian matahari dan hilal ; ketiga, jarak antara Bulan dan Matahari (jika hilal terlalu dekat, meskipun Matahari telah tenggelam, berkas sinarnya masih menyilaukan sehingga hilal tidak tampak); keempat, kondisi atmosfer Bumi sepertiakibat polusi udara, kabut dan sebagainya; kelima, kualitas mata pengamat.[19]
Susiknan dalam bukunya mencoba menganalisis hadits-hadits tersebut melalui prespektif historis. Ia mengatakan bahwasanya esensi hadits rukyah adalah proses penentuan awal bulan kamariah, bukan rukyahnya itu sendiri. Menurutnya, rukyah hanya merupakan salah satu sarana untuk menentukan awal bulan kamariah. Kebetulan yang dihadapi Rasulullah pada saat itu adalah masyarakat Madinah, jadi rukyah zaman Nabi dalam pengertian melihat dengan mata telanjang cocok dengan keadaan masyarakat Madinah yang bercorak agraris. Jadi kondisi tersebut yang membuat rukyah hanya melalui pengamatan dengan mata secara langsung. Hal tersebut berdasarkan hasil kajiannya yang menunjukkan hadits-hadits rukyah bernuansa Madinah karena perintah puasa muncul di Madinah.[20]  Jadi menurut pendapatnya diatas, jika menjadikan makna rukyah dalam konteks bukan hanya Madinah saja tetapi melibatkan konteks Makkah. Ini berarti rukyah tidak semata-mata melihat dengan mata telanjang.
Dengan demikian, menurut hemat penulis perbedaan yang terjadi terhadap pemaknaan dasar Syara’  lumrah terjadi. Karena dengan sekian dasar yang berasal dari Al-Qur’an dan Hadits tidak ada petunjuk operasional yang jelas, rinci dan bersifat kuantitatif seperti halnya masalah waris. Hal tersebut tentunya terdapat hikmahnya, ummat Islam ditantang untuk melakukan riset ilmiah untuk memperjelas, merinci dan mengkuantitaskan pedoman umum dalam nash Qu’an dan Hadits. Maka dari itu, sesuai dengan riset ilmiah, tidak ada yang bersifat benar mutlak untuk selamanya dan di segala tempat semuanya bersifat dinamis.
BAB III
KESIMPULAN
Lafadz rukyah memiliki pemaknaan yang beragam. Ada yang berpendapat rukyah itu mengandung makna rukyah bil fi’li yang berarti melihat atau mengamati hilal dengan mata ataupun dengan teleskop pada saat matahari terbenam menjelang bulan baru. Terdapat pula pemaknaan lain yakni rukyah bil ‘Ilmi, mereka mengetahui dan memperkirakan kapan awal dan akhir bulan Kamariah memakai sistem perhitungan (hisab) tanpa harus melihat hilal. Sehingga metode ini lebih sering disebut sebagai hisab.
Perbedaan yang terjadi terhadap pemaknaan dasar Syara’  lumrah terjadi. Karena dengan sekian dasar yang berasal dari Al-Qur’an dan Hadits tidak ada petunjuk operasional yang jelas, rinci dan bersifat kuantitatif seperti halnya masalah waris. Hal tersebut tentunya terdapat hikmahnya, ummat Islam ditantang untuk melakukan riset ilmiah untuk memperjelas, merinci dan megkuantitaskan pedoman umum dalam nash Qu’an dan Hadits. Maka dari itu, sesuai dengan riset ilmiah, tidak ada yang bersifat benar mutlak untuk selamanya dan di segala tempat semuanya bersifat dinamis.



BAB IV
PENUTUP
Demikianlah makalah ini kami buat, semoga dapat  bermanfaat bagi pemakalah khususnya dan pada umumnya bagi pembaca. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, karena di dalamnya masih terdapat banyak kesalahan. Penulis hanya dapat mengucapkan permohonan maaf yang sebesar-besarnya kepada para pembaca, sekaligus mengharapkan kritik dan saran konstruktif dari para pembaca demi perbaikan makalah-makalah yang selanjutnya.



DAFTAR PUSTAKA

Al-Maraghi, Mushthafa, Tafsir Al Maraghi Terj. Anshori Umar Sitanggal, Semarang : PT Karya Toha Putra, Cet 2 1993

As Syuyuthi, Jalaluddin, Tafsir Jalalein Juz 2, Bandung : Sinar Baru Algesindo, 2008

Azhari,  Susiknan, Hisab dan Rukyat, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, Cet I 2007

                         ,Ensiklopedi Hisab Rukyah, Yogyakarta : Pustaka pelajar, Cet II 2008

Depag RI, Ephemeris Hisab Rukyat 2004,Jakarta, Ditpenpera, 2004

Imam Bukhari, Shahih Bukhari, Beirut : Darul Fikr, 1994

Imam Muslim, Shahih Muslim Juz 2, Beirut : Dar Kutb Al Ulumiyah, 1992

Izzuddin, Ahmad, Fiqih Hisab Rukyah, Jakarta : Erlangga, 2007

Khazin, Muhyiddin, Ilmu Falak dalam Teori dan Praktik, Yogyakarta : Buana Pustaka, Cet IV 2011

Munawwir, Kamus Indonesia-Arab, Surabaya : Pustaka Progresif, 1999

Nashiruddin, Muhammad Albani, Shahih Sunan Tirmidzi, Depok : Pustaka Azzam, tt,

Nashirudin, Muh, Kalender Hijriah Universal, Semarang : El- Wafa, 2013

Shofiyullah,  Almuhtaj Seputar Awal bulan Hijriah  Edisi Baru dilengkapi Perhitungan Gerhana Bulan, Malang: Ponpes Miftahul Huda, cet.II, Juli 2007


[1] Susiknan Azhari, Ensiklopedi Hisab Rukyah, Yogyakarta : Pustaka pelajar, Cet II 2008, hlm. 183
[2] Munawwir, Kamus Indonesia-Arab, Surabaya : Pustaka Progresif, 1999, hlm. 229
[3] Muh Nashirudin, Kalender Hijriah Universal, Semarang : El- Wafa, 2013, hlm. 103
[4] Susiknan Azhari, Hisab dan Rukyat, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, Cet I 2007, hlm. 65
[5] Ibid
[6] Muh Nashirudin, Loc.Cit
[7] Muhyiddin Khazin, Ilmu Falak dalam Teori dan Praktik, Yogyakarta : Buana Pustaka, Cet IV 2011, hlm. 173
[8] A. Mushthafa Al-Maraghi, Tafsir Al Maraghi Terj. Anshori Umar Sitanggal, Semarang : PT Karya Toha Putra, Cet 2 1993, hlm. 126-127
[9]  Jalaluddin As Syuyuthi, Tafsir Jalalein Juz 2, Bandung : Sinar Baru Algesindo, 2008, hlm. 98
[10] Imam Muslim, Shahih Muslim Juz 2, Beirut : Dar Kutb Al Ulumiyah, 1992, hlm. 709
[11] Imam Bukhari, Shahih Bukhari, Beirut : Darul Fikr, 1994, hlm. 399
[12] Muhammad Nashiruddin Albani, Shahih Sunan Tirmidzi, Depok : Pustaka Azzam, tt, hlm. 553
[13] Ibid, hlm. 554
[14] Muh Nashirudin, Op.Cit  hlm. 106
[15] Ahmad Izzuddin, Fiqih Hisab Rukyah, Jakarta : Erlangga, 2007,  hlm 44
[16] Ibid, hlm. 45
[17]  Shofiyullah,  Almuhtaj Seputar Awal bulan Hijriah  Edisi Baru dilengkapi Perhitungan Gerhana Bulan, Malang: Ponpes Miftahul Huda, cet.II, Juli 2007, hlm.21.
[18] Ibid hlm. 22
[19] Depag RI, Ephemeris Hisab Rukyat 2004,Jakarta, Ditpenpera,2004, hlm. 87
[20] Susiknan Azhari, Op.Cit, hlm.66

Tidak ada komentar:

Posting Komentar